Seiring
dengan kemajuan cara berpikir manusia dewasa ini, ilmu pengetahuan berkembang
secara luar biasa. Perkembangan ilmu pengetahuan ini telah hampir memasuki
semua bidang kehidupan masarakat moderen. Nyaris tidak ada satu masarakat pun
yang sama sekali tidak tersentuh oleh kesuksesan para ilmuan. Namun kita juga
tidak boleh lepas dari perkembangan ilmu tersebut, dari mana asalnya, siapa
pencetusnya dan apa dampaknya bagi kehidupan sekarang ini.
Perkembangan filsafat ilmu dunia barat
memiliki tiga tahap yang saling ketergantungan dari prapositivisme sampai
pascapositivisme. Banyak metode-metode, pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh ilmiah yang tercipta pada era tersebut dan
semua itu berkembang di dunia barat sampai zaman moderen ini.
Telah
banyak dampaknya yang kita rasakan seperti pemikiran secara logika, induksi,
empirisme dan lain-lain yang masih kita rasakan sampai sekarang ini. Dan kini
telah dikembangkan dan selalu mendapat pembaharuan hingga masa kini. Hal ini
sangat bermanfaat untuk kehidupan ini.
Tahap
Perkembangan Filsafat Ilmu
1. Era Prapositivisme
Era
prapositivisme dimulai sejak Aristoteles (384-322 SM) sampai David Hume
(1711-1776) . Aristoteles adalah seorang filsuf, saintis, dan sekaligus ahli
pendidikan. Ia adalah salah satu ahli piker yang berpengaruh di Barat.
Menurutnya manusia adalah pengamat pasif, karena segala hal yang bersifat fisik
terjadi secara alamiah. Menurut Aristoteles untuk memperoleh pengetahuan,
manusia untuk menggunakan hukum-hukum logika seperti law of contracdition
(tidak ada proposisi yang benar dan sekaligus salah) dan law of excluded middle
(suatu proposisi bias benar dan bias salah).
Logika
dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran. Bila disusun secara
sistematik, maka metodologi penelitian merupakan bagian dari logika. Setidaknya
ada lima model logika, yaitu logika formal asristoteles; logika matematik
dedutif; logika matematik induktif; logika matematik probabilistic; dan logika
reflektif.
Pada
tahap prapositivisme ini, logika Aristoteles tersebut sebagai metode ilmiah
tidak banyak menglami perubahan, meskipun para penerusnya mencoba mengadakan
trobosan dalam mengembangkan metode ini.
2. Era Positivisme
Positivism
adalah suatu faham filsafat yang
ditandai dengan pemikiran secara ”positif” terhadap ilmu dan metode metode
ilmiah. Positivisme dimulai pada permulaan abad ke-19 di Parncis dan Jerman.
Pada
abad ke-20 tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang dikenal sebagai
Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang angotanya antaralain: Moritz Schlick
(1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (182-1945), Hans Reichenbach
(1891-1955), dan Victor Karft (1880-1975).Secara garis besar, pandangan Filosof
Positivisme dapat disimpulkan dalam lima prinsip dasar.
Pertama:
asumsi ontologis tentang realita tunggal “di sana” yang dapat dipecah-pecah dan
ditelaah secara independen.
Kedua:
asumsi epistemologis tentang kemungkinan memisahkan pengamat dari yang diamati,
atau subyek dari obyek.
Ketiga: asumsi keterlepasan pengamat dari waktu dan
konteks, sehingga apa yang benar pada suatu saat dan dalam situasi yang tepat
dapat juga berlaku pada waktu dan tempat yang berlainan.
Keempat:
asumsi aksiologis linier bahwa tidak ada akibat tanpa sebab dan tidak ada sebab
tanpa akibat.
Kelima:
asumsi aksiologis tentang bebas nilai, bahwa metodologi ilmiah menjamin hasil
penelitian benar-benar bebas dari pengaruh sistem nilai.
Metode
ilmiiah dalam paradigm positifisme mengikuti pola yang sering disebut sebagai
model hipotesis deduktif. Dari berbagai sumber seperti aksioma, teori
penelitian terdahulu dan intuisi peneliti merumuskan hipotesis. Peneliti kemudiaan meneliti hipotesis dengan
pengamatan. Karl Raimund Popper yang lahir di wina pada tahun 1902 menganggap
bahwa hipotesis dapat dibuktikan gagal apabila sudah diflasifikasi. Untuk
mencapao pandangan ini Popper memakiai kebenaran logis yang pada dasarnya
sangat sederhana sekali.
Popper
tidak membedakan secara tajam antara filsafat dengan ilmu, baik metode maupun
obyek materinya. Oleh karena itu menurut Popper tidak ada satu metode yang
khusus berlaku untuk penyelidikan ilmi-ilmu tertentu. Metode ini bukan hanya
untuk filsafat saja melainkan daapat juga diterapkan dalam ilmu lainnya.
3. Era Pascapositivisme
Era
ini timbul sebagai reaksi terhadap keterbatasan beberapa prinsip dalam
positivism dan merupakan pengembanggan kebenaran logis yang ditemukan oleh
Popper. Meskipun sebelumnya ia sendiri tidak bergabung dalam kelompok Wina, dan
dia telah menemukan paradikma baru yang berbeda dengan konsep induksi. Era
pascapositivisme ini dimulai dari kebingungan Heisenderg dan Kucing
Schrodinger. Kisah ini muncul dari Lincolen dan Guba:
Pertama:
sebuah kotak baja mengandung atom radio aktif. Atom tersebut mempunyai paruh
waktu satu jam, sedangkan yang setengahnya lagi akan luruh. Jiadi sesudah satu
jam kemungkinan menemukan satu atom itu dalam kotak adalah 0,5.
Kedua:
ada sebuah foto sel yang sensitife pada radiasi yang dipancarkan. Bila atom itu
luruh radiasi yang timbul akan mengenai foto sel dan pada giliranyan akan
mengeluarkan gas yang mematikan.
Ketiga:
seekor kucing hidup dimasukkan kedalam kotak tepat pada satu atom unsur radio aktif telah dikeluarkan.
Pertanyaan pada akhir satu jam apa yang kita temukan bila kita membuka kotak
kucing itu mati atau hidup.
Menurut
mekanika kuantum, seseorang dapat mengontrol nasip kucing dengan membuka kotak
sesudah satu jam. Kemungkinan kucing itu mati atau hidup adalah sama. Jika
kotak itu tidak dibuka dua realitas kucing hidup atau mati adalah sama. Jika
kotak tidak dibuka dua realitas kucing hidup atau matipun akan berdampingan
untuk waktu yang tidak terbatas. Jadi tidak ada realitas objektif, dan yang ada
adalah realitas menurut persepsi dan konstruksi seseorang.
Pengetahuan
yang semula dianggap sebagai kebenaran ternyata dibongkar oleh penemuan
berikutnya, sehingga tidakl menutup kemungkinan yang dianggap benar seat ini
akan digeser oleh penemuan berikutnya. Bagi Popper, gejala ini dapat dijadikan
pelajaran yang berharga dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, suatu
teori ilmiah tidak benar secara definitive. Setidaknya dapat dikatakan bahwa
penemuan baru hanya mendekati kebenaran. Seorang ilmuan harus berlapang dada
bila teorinya ternyata sudah tidak berlaku lagi dan rela meninggalkannya serta
mengakui teori baru yang lebih falid.
Positivisme logis lebih mengembangkan metodologi
aksiomatik suatu teori ilmu kedalam logika matematik, dan dikembangkan lebih
jauh lagi dalam logika induktif, yaitu
ilmu itu bergerak naik dan fakta-fakta kusus fenomena kearah generalisasi
teoritik. Menurut positifisme ilmu yang falid adalah ilmu yang dibangun dari
empiris. Sedangkan menurut rasionalisme, ilmu falid merupakan abstraksi,
simplikasi, atau idealisasi dari realitas, serta terbukti koheren dengan system
logikanya.
Pada
dasarnya penggunaan rasionalisme dalam menyusun kerangka teori dan memberi
makna terhadap hasil penelitian serta penggunaan positivisme dalam mengguji
objek spesifiknya.
0 komentar :
Posting Komentar